Keterbatasan lapangan pekerjaan yang tersedia di Indonesia sangat cukup tinggi dari tahun ke tahun, sehingga berpotensi untuk tidak dapat tertampungnya lulusan program pendidikan di lapangan kerja setiap tahun selalu meningkat tidak pernah mengalami penurunan, dan pada akhirnya masyarakat akan kehilangan kepercayaan secara signifikan terhadap eksistensi lembaga pendidikan jika masalah pengangguran masih terus seperti ini di tahun yang akan datang.
Lapangan pekerjaan merupakan indikator penting tingkat kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan “pendidikan” dalam mengurangi angka kemiskinan yang ada. Merembaknya isyu pengangguran terdidik menjadi sinyal yang cukup mengganggu bagi perencana pendidikan di negara-negara berkembang seperti di negara kita Indonesia. Sementara dampak sosial dari jenis pengangguran ini relatif lebih besar dan banyak efek negative dari hal ini salah satunya tingkat kriminalitas juga ikut bertambah karena dorongan ekonomi. Mengingat kompleksnya masalah ini, maka upaya pemecahannya pun tidak sebatas pada kebijakan sektor pendidikan saja, namun merembet pada masalah lain secara multi dimensional. Fenomena pengangguran sering menyebabkan timbulnya masalah sosial lainnya seperti yang sudah diterangkan di atas. Di samping tentu saja akan menciptakan angka produktivitas sosial yang rendah, yang akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat nantinya.
Pengangguran merupakan masalah serius yang dihadapi dalam pembangunan sumber daya manusia yang tengah dilakukan saat ini. Krisis ekonomi yang kini dihadapi ternyata telah memporakporandakan tatanan kehidupan bangsa.
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja. Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang disebabkan antara lain; perusahaan yang menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif, peraturan yang menghambat inventasi, hambatan dalam proses ekspor impor, dan lain-lain.
Data dari Bappenas menunjukkan pada tahun 1998 penduduk miskin telah mencapai 80 juta orang, yang berarti mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang hanya 22,4 juta orang saja. Sedangkan dari Biro Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pengangguran pada tahun 1999 sebesar 6,37 juta orang. Yang kemudian di akhir 1999, jumlah pengangguran semakin membengkak, yakni mencapai 14 juta orang dan tenaga kerja setangah menganggur mencapai 35 juta orang itu adalah sebagian contoh prosentase penganguran yang ada di Indonesia secara umum pada tahun 1998 sampai dengan 1999.
Jumlah penganggur terdidik di Indonesia setiap tahun terus bertambah, seiring dengan diwisudanya sarjana baru lulusan berbagai perguruan tinggi (PT). Para sarjana pengangguran itu tidak hanya lulusan terbaik PT swasta, tetapi juga PT negeri kenamaan. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar 9,13 juta penganggur terbuka, sekitar 450 ribu diantaranya adalah yang berpendidikan tinggi. Bila dilihat dari usia penganggur sebagian besar (5,78 juta) adalah pada usia muda (15-24 tahun). Selain itu terdapat sebanyak 2,7 juta penganggur merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (hopeless). Jumlah sarjana (S-1) pada Februari 2007 sebanyak 409.900 orang. Setahun kemudian, tepatnya Februari 2008 jumlah pengangguran terdidik bertambah 216.300 orang atau sekitar 626.200 orang. Jika setiap tahun jumlah kenaikan rata-rata 216.300, pada Februari 2012 terdapat lebih dari 1 juta pengangguran terdidik. Belum ditambah pengangguran lulusan diploma (D-1, D-2, D-3) terus meningkat. Dalam rentang waktu 2007-2010 saja tercatat peningkatan sebanyak 519.900 orang atau naik sekitar 57%.
Situasi seperti ini akan sangat berbahaya dan mengancam stabilitas nasional. Masalah lainnya adalah jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam kerja normal 35 jam per minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28,87 juta orang. Sebagian dari mereka ini adalah yang bekerja pada jabatan yang lebih rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang mengakibatkan produktivitas rendah. Dengan demikian masalah pengangguran terbuka dan setengah penganggur berjumlah 38 juta orang yang harus segera dituntaskan.
Sarjana yang menganggur itu sebagian besar berasal dari jurusan sosial nonkependidikan, agama, dan sebagian lagi jurusan eksak (MIPA). Dari jurusan eksak dan teknik hanya sedikit menyumbang jumlah pengangguran. Itu karena sebagian besar jurusan eksak dan teknik sudah terserap di berbagai industri dan perusahaan BUMN. Fenomena meningkatnya jumlah pengangguran terdidik menimbulkan keprihatinan kita bersama. Selain menunjukkan adanya ketimpangan (mismatch), itu memperlihatkan kegagalan pemerintah dalam menciptakan sistem pendidikan bagi rakyatnya.
Jika dikaji dari perspektif sosiologi, meningkatnya pengangguran terdidik jelas membahayakan. Para penganggur itu sangat rentan melakukan tindak kriminalitas. Bahkan dengan kemampuan intelektual yang dimiliki, para sarjana pengangguran itu bisa menciptakan kejahatan baik di dunia nyata maupun dunia maya (internet). Seperti pembobolan bank melalui situsnya, menyebar virus komputer yang mematikan, sampai mengacak-acak data kependudukan.
Meledaknya jumlah pengangguran terdidik jauh hari sudah diramalkan pakar pendidikan Ivan Illich (1972). Menurutnya, akan tiba masa pendidikan menjadi tidak berguna dihadapkan dengan kehidupan nyata. Padahal pendidikan sudah terlalu banyak menyerap biaya, tetapi hasilnya kurang optimal. Bahkan, hanya menghasilkan para pemalas yang tidak terampil, yang mengincar pekerjaan formal dan ringan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar